Kamis, 12 Agustus 2010

Monolog Tentang Tangan Terbuka

 


Entah di mana pun. Setiap sudut kota. Di merah, kuning, hijau. Seperti sudah menjadi debu. Berkeliaran di jalan-jalan. Berbaur dengan sesama. Berkejaran mencari nafkah.

"Entahlah."
"Katanya profesi."
"Biarlah."
"Untuk mereka hidup."

Ragam status. Bermacam jabatan. Hierarki sosialis. Apa pun katanya.

"Apa sudah berubah?"
"Lihat saja sendiri."

Bertukar tahun. Berganti dekade. Abad pun hanya bersaksi. Dan tak ada ubah.

"Yah..."
"Tangan mereka masih terbuka."
"Untuk apa?"
"Tak berubah."
"Untuk meminta."
 "Mengapa?"
"Entahlah."
"Mungkin selalu ditolak?"
"Ditolak menawarkan jasa."
"Usaha mandiri?"
"Mungkin tak laku."
"Mungkin tak ada daya (lagi)."

Berkelit alasan. Tapi, mereka pun tak ribut. Di atas malah bercongkak. Tak peduli. Pura-pura peduli. Tapi, hanya topeng. Saling menjatuhkan. Membawa alasan si Tangan Terbuka. Malah atas yang ribut. Berebut mewah. Berdebat sepat. Itulah profesinya. Tangan Terbuka hanya menerima. Selalu sama. Miskin sudah biasa. Daging tak jadi masalah. Apalagi kursi megah. Yang penting nasi. Tak perlu berpikir panjang. Pendek saja cukup. Nasi dan keluarga. Tak perlu berdebat. Baginya sudah profesi. Profesi Tangan Terbuka. Tangan Terbuka dalam arti sebenarnya.
 
"Apa ada harapan?"
"Atau akan selalu begitu?"
"Tergantung."
"Tergantung para Pembusung Dada?"
"Tak ada harapan untuk itu."
"Mereka yang perlu mengubah."
"Tak lagi sekedar cukup?"
"Ya."
"Tak lagi berpikir pendek."
"Banyak pilihan."
"Berubah jadi Tangan Terbuka dalam kiasan."
"Penolong?"
"Ya."
"Bagaimana dengan Pembusung Dada?"
"Terserah mereka."
"Mereka butuh berpikir panjang."
"Tapi berjangka."
"Bukan lamban."

"Yah..."
"Mereka pasti bisa."
"Memang tak cukup pendek."
"Karena hidup mungkin masih panjang."
"Mengubah Tangan Terbuka dalam arti sebenarnya."
"Menjadi Tangan Terbuka dalam arti kiasan."

Rabu, 11 Agustus 2010

Anak-anak yang Hilang

Wuih, lumayan dramatis tuh judul. Sebenernya, yang saya mau bahas tentang dunia anak-anak kecil yang semakin pudar. Bener ga sih?!

Sebelumnya, saya mau cerita, kenapa bisa kepikiran buat posting dengan tema kayak gini.

Setiap pulang kampung, saya pasti selalu naik bis, namanya juga kendaraan umum, pasti selalu aja ada penampilan dari artis jalanan. Sayangnya, banyak banget yang pengamennya adalah anak-anak. Dan lebih sayang lagi, karena lagu-lagu yang dibawain seharusnya dibawain sama orang dewasa.

Sering banget saya nanya (walaupun cuma dalem hati), "kenapa sih nggak nyanyi lagu anak-anak aja atau lagu-lagu daerah atau lagu-lagu nasional?"
Walaupun nggak ada yang jawab, karena memang saya nggak nanya langsung, saya kira saya tau jawabannya. Kayaknya karena memang mereka udah banyak dijejali lirik-lirik bertema cinta, selingkuh, dan lainnya, yang notabenenya adalah lagu dewasa. Selain itu, mungkin mereka nggak tau kalo ada lagu anak-anak di Indonesia ini, karena mereka lahir dan besar di saat dunia anak-anak semakin pudar.

Pasti sobat-sobat tau kalo sekarang Indonesia udah nggak punya penyanyi cilik. Padahal waktu saya kecil (buat ngebandingin aja, saya masuk kelas 1 SD tahun 1995) acara anak-anak itu setara dengan sinetron pada zaman sekarang, maksudnya banyak banget acara yang memang bener-bener buat anak-anak. Bukan acara orang dewasa yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa ditonton anak-anak. Mulai dari acara yang pembawa acaranya Meisy, ada juga yang dibawain sama Chikita Meidi, terus ada juga film-film kartun buatan Indonesia yang isinya dongeng sejarah, bahkan produsen film Indonesia juga ada yang membuat film tema anak-anak, seperti film Petualangan Sherina yang laris banget dan Joshua Oh Joshua, pokoknya dunia anak-anak hidup banget deh. Malah, sampe-sampe orang tua juga sering mengkonsumsi acara anak-anak.

Beberapa tahun ke depannya, entah seiring dengan apa, yang jelas sekarang semuanya udah redup.



Kita lihat,

1.
Di kontes penyanyi cilik, lagu-lagu yang dinyanyikan pasti kebanyakan lagu-lagu dewasa yang bertema cinta-cintaan.

2.
Sinetron-sinetron yang sangat nggak bermutu semakin menjalar makmur di Indonesia, sampe anak-anak banyak yang terpaksa menyaksikan sinetron nggak jelas, karena jarangnya acara televisi yang berbau edukasi, khususnya untuk anak-anak.

3.
HP (HandPhone) udah jadi pegangan wajib untuk kebanyakan anak-anak SD. Padahal HP bisa dimanfaatkan buat dijadiin fasilitas yang nggak baik, bahkan merugikan dan merusak, sedangkan anak-anak masih butuh bimbingan dan pendidikan untuk membedakan mana yang baik dan benar.

4.
dan masih banyak lagi yang lambat laun bisa mengubah pola pikir anak-anak, yang seharusnya tidak hanya untuk direnungkan, tapi harus ada solusinya..............


Saya setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa "untuk melihat negara dan bangsa lihatlah dari pemudanya", semakin baik kualitas moral dan pemikiran pemudanya, semakin majulah negara dan bangsanya, serta sebaliknya. Untuk itu, dengan menelaah ini semua, tentu kita harus menyelamatkan moral-moral anak negeri ini yang semakin rapuh dengan banyaknya perusak moral generasi muda.

Di sini, saya cuma mau ngebuka topik untuk sekedar dibuka kembali masa-masa kecil kita yang cukup beruntung dibandingkan masa sekarang yang banyak keterbatasan dan kemunduran. Di lain hal, semoga yang baca ini, bisa berpikir tentang apa yang terjadi saat ini dan mau merenungkannya, sehingga dapat sekalian evaluasi diri. Sebaik apapun solusi, entah tentang permasalahan yang dibahas ini atau permasalahan-permasalahan lainnya, semua tidak akan berhasil jika tidak perubahan dari masing-masing individu. Jadi, inti dari semua ini adalah kita sendiri yang bisa menentukan mau di bawa ke arah manakah masa depan kita. Seperti kata seorang Abdullah Gymnastiar, "mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari saat ini."

Seberapakah Pentingnya Nilai?

“Nilai lw berapa?”
“Gue dapet A.”
“Gue dapet A-“
“Sama donk.”
“Lw dapet berapa?”
“Gue cuma B, lumayan daripada lumanyun.”
“Ahh… Dosennya pelit nih, masa gue dapet C, padahal semua tugas gue kerjain.”
“Iya nih, dosennya ghaib banget ngasih nilainya. Si Males aja nggak pernah masuk malah dapet A-“
“…………….”

Akhirnya, dari percakapan itu keluar bermacam-macam umpatan, kekesalan, ada juga yang nyombongin diri (walaupun dengan unsur bercanda), tapi ada juga yang cuma diam-diam aja sambil senyum-senyum kecil.

Nilai itu sepertinya sesuatu yang sangat penting untuk hampir seluruh manusia di dunia ini. Dengan nilai, kita dapat mengetahui kadar kepandaian seseorang. Tidak hanya itu, dengan nilai juga banyak hal yang dapat dijadikan sebagai standar atau tolak ukur berbagai macam hal. Oleh karena itu, banyak orang, khususnya pelajar, yang menganggap nilai itu menyangkut hidup dan mati orang tersebut.

Sebagai mahasiswa, saya mengamati kecenderungan teman-teman saya yang juga mahasiswa, bahwa tingkat stress semakin tinggi dengan alasan yang ujung-ujungnya menyangkut nilai. Buktinya, semuanya dapat dilihat ketika nilai dibagikan, terutama ketika nilai UAS sudah di-publish. Namun, bukan berarti dengan begitu kita dapat men-judge atau menyimpulkan bahwa semua orang berorientasi pada nilai. Ada beberapa orang yang tidak peduli pada nilai, tetapi lebih pada ilmu atau keahlian yang didapatkan. Namun, jumlah orang yang seperti itu sangat sedikit, karena tetap saja orang memperhatikan kedua hal tersebut, nilai dan ilmu yang diperoleh.

Entah mengapa nilai bisa sebegitu pentingnya.

Saya sendiri merasa nilai itu bukan suatu hal yang mutlak, di mana dengan nilai kita mengetahui standar dan kemampuan seseorang, karena semua penilaian pada dasarnya dilakukan oleh manusia, suatu benda hidup yang memiliki perasaan, akal, dan nafsu. Dengan demikian, semua dosen, guru, atau siapa pun yang berhak memberikan nilai memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak ada standar khusus yang menjadi patokan wajib dalam kriteria pemberian nilai.

Sebagai mahasiswa, saya mengamati (walaupun pengamatan saya bukan penelitian yang valid layaknya seorang psikolog) bahwa ada dosen yang menilai dengan memperhatikan kehadiran mahasiswa dalam kuliahnya, ada yang menilai berdasarkan keaktifan saat kuliah, ada yang hanya menilai dengan melihat hasil akhir dari ujian, dan ada juga yang asal dalam pemberian nilai, tanpa memperhatikan kerja keras mahasiswa dalam mengerjakan tugas dan ujian, serta berbagai macam landasan lainnya.

Di samping sudut pandang tersebut, tidak jarang juga banyak pelajar yang melakukan kecurangan dalam melaksanakan ujian, namun karena tidak semua melakukan kecurangan, hal tersebut menyebabkan seolah adanya ketidakadilan. Akan tetapi, itulah mahasiswa atau mungkin sifat buruk kebanyakan orang di Indonesia, mencari kesalahan dengan melihat orang lain, tanpa mau mengevaluasi diri sendiri. Kadang kita tidak menyadari bahwa sebenarnya semua hal bisa terjadi. Oleh sebab itu, jangan pernah meremehkan seseorang, karena yang lebih penting adalah proses yang dijalani bukan hasil yang baik dari proses yang salah.

Di sisi lain, terkadang sering saya berpikir, mengapa orang terlalu stress memikirkan nilai. Toh, orang yang males pun dengan mudah bisa mendapatkan nilai bagus dan yang rajin justru tiba-tiba bisa saja mendapatkan nilai yang jelek. Mungkin ada benarnya bahwa faktor keberuntungan juga mempengaruhi semuanya, sekalipun kebenaran ada atau tidaknya keberuntungan masih dipertanyakan.

Apakah nilai sebuah takdir?
Seberapa penting nilai Anda dapat mempengaruhi takdir Anda yang lain?
Jadi, seberapakah pentingnya nilai bagi Anda?

Jawaban yang cukup terlihat sederhana, tetapi sulit diimplementasikan;

“Lakukanlah yang terbaik, berusahalah dengan keras, orientasikanlah pada proses dan ilmu yang didapat, karena sesungguhnya hasil akhir yang baik akan didapat dengan mengikuti proses yang baik dan tepat.”



Dengan menulis ini, mengingatkan saya pada film Dragon Zakura, di mana di dalam filmnya ada kutipan:

“For an examination question, there is always only one good answer. If you don’t find that single good answer, you fail. It’s very difficult problem. But for life, it’s different. In life, there are many correct answers.”

Artinya:

“Dalam ujian pasti selalu hanya ada satu jawaban yang benar. Jika tidak dapat menemukan jawaban yang tepat, langsung gagal. Hal tersebut merupakan hal yang sulit. Tetapi dalam kehidupan berbeda. Dalam hidup, banyak terdapat jawaban yang benar.”

Jadi, pilihlah jawaban yang benar dalam hidup yang sesuai dengan hati dan kemampuan, sehingga menjadikan hidup lebih mudah dan tidak terpaku pada sesuatu hal yang disebut nilai, karena proses dalam hidup sudah merupakan nilai bagi setiap individu. Untuk itulah, mengapa kita harus mengevaluasi diri sendiri dalam menjalani kehidupan.

Menjadi Sampah atau Catatan Getah


Hari ini tercatat sebagai hari pertama puasa (1 Ramadhan) di tahun 2010. Dan hari ini pula saya punya niat buat memberdayakan akun blog baru saya yang RENCANANYA akan menjadi blog punya saya yang paling aktif di jagad raya. Insya Allah....

Sebenernya sih udah antah berantah ini blog yang ke berapa saya pernah buat. Udah banyak akun saya yang terdaftar di blogger, tapi nggak pernah jadi blog yang "eeerrrrr". Maksudnya, blog yang beneran tukang blog punya. Selalu di-update, aktif ikutan program adsense, bales-balesan komen di setiap artikel. Alih-alih, blog-blog saya terdahulu pun menjadi sampah yang tak ada juntrung.

Sedikit cerita yang yang bukan berita, tadi siang, saya nggak sengaja nemuin blog seorang yang diberi label public figure. Namanya Dewi Lestari. Bernama pena Dee. Nih alamat blognya :
Saya membaca blog tersebut bersama teman saya di kantor tempat saya Kerja Praktek. Kira-kira hampir satu jam lebih, saya dan teman saya menghabiskan baca satu artikel beserta komen-komennya.

Dengan pemilihan kata yang bak seorang puitis namun tak berkikis, dengan segala kemampuannya bertutur dalam kalimat, membuat saya tertantang untuk berani menuliskan apa-apa yang ingin saya tulis dalam blog ini. Untuk itulah, saya beri judul artikel pertama saya ini di hari pertama bulan Ramadhan ini, Menjadi Sampah atau Catatan Getah, sebagai sindiran bagi saya supaya tidak menjadikan blog dan tulisan-tulisan saya menjadi Sampah (lagi) di alam maya yang semakin penuh sesak dengan angka 0 dan 1 nya. Semoga aja, dengan niat saya di awal tadi, saya bisa menjadikan blog ini sebagai Catatan Getah, yang saya artikan sebagai catatan abadi yang akan merekam jejak pertanyaan dan pendapat saya dalam masa hidup ini, karena tulisan, fosil, atau beberapa benda purbakala terselamatkan hingga saat ditemukannya kini, karena ada lapisan getah yang melindunginya dari segala gangguan kondisi fisik.

Oke. Kita lihat saja nanti. Atau nanti saja kita lihat?