Rabu, 20 Oktober 2010

Di Balik Mengetik 10 Jari

Sebelumnya, biar nggak dibilang kayak pemusik-pemusik baru di Indonesia yang katanya banyak yang bertitel plagiator. Jadi, saya kasih tau dulu kalo postingan ini karya temen, namanya Junda. Dan selain udah minta izin ke beliau untuk ditulis di blog ini, beliau juga udah ngizinin saya buat boleh ngedit sedikit isinya biar sesuai, makanya saya masukin postingan ini ke kategori Opini, soalnya emang isinya opini Junda.

Langsung aja ahh...

[KEYBOARD.JPG]

Beberapa waktu yang telah lalu dan biarlah berlalu, gue jalan-jalan ke sebuah toko buku buat merampungkan target menguntil bulan ini yang baru 80%. NAH, (pake huruf kapital biar dramatis) di deretan buku-buku bertemakan komputer, gue ngeliat ada buku yang sepertinya ngajarin hal paling mendasar dalam penggunaan komputer, yaitu kegiatan memainkan jari di atas tuts keyboard atau yang biasa kita kenalan sebagai, ngetik. Di dalem buku itu ada satu bagian khusus yang ngebahas soal mengetik dengan teknik sepuluh jari, lengkap dengan sejarahnya, penemu tekniknya, tutorialnya, videonya, kasetnya, anaknya, serta blablabla...

Kini kita masuk di bagian seriusnya.

Dalam buku tersebut, dijelaskan faedahnya huruf-huruf alfabet yang sepintas terlihat diletakkan tidak beraturan pada keyboard. Mungkin anda pernah bertanya sendiri, kenapa huruf-huruf pada keyboard tidak disusun secara alfabetis saja. Bagi anda yang belum tahu, sebenarnya peletakkan huruf di keyboard tidak dilakukan dengan sembarangan. Tetapi dilakukan atas pertimbangan satu research khusus. Dan hasil dari research tersebut adalah kaidah qwerty, yang mana dari awal ditemukannya hingga hari ini, dan kemungkinan sangat besar masih akan terus dipakai di masa yang akan datang.

Kenapa dinamakan qwerty? Coba tengok sebentar keyboard anda, lihat huruf yang berjajar di sebelah kiri atas keyboard, dibawah tuts angka. Apa yang Anda baca? qwerty bukan?

Dalam rangka melatih teknik mengetik sepuluh jari dengan maksimal, kita harus tahu bahwa setiap jari memiliki tanggung-jawabnya masing-masing. Maksudnya begini, beberapa tuts ada yang menjadi jatah jari kelingking tangan kanan, ada yang jari manis tangan kanan, telunjuk tangan kiri, dan semacamnya hingga seluruh jari tangan mendapatkan jatah tanggung jawabnya masing-masing. Dan tentu saja ini tidak bersifat mutlak, ada kalanya beberapa orang mengubah jatah tiap jari tersebut sesuai dengan kenyamanannya masing-masing. Namun yang dipaparkan dalam buku tersebut adalah yang umum digunakan.

Selagi membaca bagian tersebut, saya agak lama mencernanya, karena baru sadar bahwa dengan memberikan setiap jari tanggung jawabnya masing-masing, maka kita bisa mendapatkan teknik mengetik sepuluh jari dengan mudah. Dan keuntungannya, berarti kita akan menghemat banyak waktu ketika mengetik, karena kita tidak perlu lagi mencari-cari letak tiap huruf pada tuts di keyboard. Bukan begitu?

Ini membuat saya berandai-andai. Andai saja dalam sebuah lembaga, seorang pimpinan dengan jelinya menempatkan seseorang pada sebuah posisi. Dan dalam posisi tersebut, dia diberi tanggungjawab yang tepat dan sesuai. Maka tugas yang dikerjakannya akan lebih baik pengerjaanya. Baik itu secara kualitas, maupun kuantitas dari tugas tersebut. Ini memberikan saya pemikiran bahwa memilih orang yang cocok untuk suatu posisi, dan tugas yang cocok juga untuk dikerjakannya, akan membawa kita pada hasil yang lebih baik. Seringkali, (entah sadar atau tidak) kita memberikan kepercayaan tugas kepada seseorang, padahal itu bukan menjadi keahliannya, atau orang itu tidak menyukai tugas tersebut. Itu fatal, karena hasilnya, baik kualitas maupun kuantitas, akan kurang baik.

Apabila sulit untuk mencari orang yang ahli, maka menurut saya, berikan saja tugas itu kepada orang yang menyukai tugas tersebut, walaupun sebenarnya dia kurang ahli dalam persoalan tugas tersebut. itu sudah termasuk dalam kategori cocok saya. Karena sesuatu yang disukai, akan dilakukan dengan beban yang terasa ringan. Jika hasil yang didapat orang tersebut kurang maksimal, maka itu adalah kemajuan baginya. (Lho? Kenapa begitu?). Maksud saya, karena dia menyukai hal itu, dia tidak akan membiarkan hasilnya kurang baik. Dia akan dengan senang hati mempelajari bagaimana menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Dan itu akan memberinya pelajaran untuk melakukan tugas itu dengan baik lain kali.

Itu hanya pandangan subjektif saya, karena definisi cocok kita berbeda-beda bukan? Seperti teknik mengetik sepuluh jari itu, setiap orang mungkin saja memberikan jatah huruf-huruf pada keyboard sesuai dengan yang dia rasa nyaman. Apabila anda kurang nyaman dengan definisi saya, tidak ada salahnya mencari definisi lain.Yang jelas saya hanya ingin memberikan satu kata kunci. Cocok. Apabila kita telah menempatkan orang yang cocok pada tiap posisinya, lalu diberi tugas yang cocok pula, maka kita tinggal lihat progress akhirnya, mungkin saja bisa lebih baik dari yang kita harapkan. Hanya Allah SWT yang tahu, kita hanya bisa berusaha.

Kereta Ekonomi Khas Indonesia

Ada dua hal yang membisikkan saya untuk menulis artikel ini, yaitu masa ketika saya jalan-jalan ke Yogyakarta dan masa ketika saya Kerja Praktek, karena dua masa tersebut adalah masa-masa saya menjalin keakraban dengan seorang yang bernama Kereta, lebih lengkapnya Kereta Ekonomi.

Di sini saya hanya akan bercerita tentang masa jalan-jalan saya dan teman-teman saya ke Yogyakarta, karena akan terlalu panjang jika saya bahas pula masa kerja praktek yang mengeratkan hubungan saya dengan kereta.

*     *     *

Pada zaman dahulu kala, saya dan kawan-kawan saya pergi berlibur ke Jogja dengan keberangkatan dan kepulangan menggunakan kereta api ekonomi. Berhubung waktu saya masih kecil pernah menaiki kereta ekonomi dengan keadaan penuh sesak saat zamannya Lebaran, otomatis saya sudah siap dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Toh, saya berangkat bukan pada musim liburan, jadi seharusnya nggak bakal seperti di iklan-iklan yang menggambarkan hiruk-pikuk dalam gerbong kereta.

Yeah! Seperti dugaan saya, keberangkatan kami tak menuai banyak masalah. Bahkan, 5 gerbong kosong sudah seperti halaman rumah, tempat kami mondar-mandir mengusir kejenuhan.

Tak perlulah saya menceritakan kalau di kereta ada tukang pijat yang memaksa untuk memijat tapi dengan berujung duit. Tak perlulah saya ceritakan kalau ada orangtua yang baik, yang membayar tukang pijat itu, karena saya tak punya receh. Tak perlu saya ceritakan kalau ada banci yang mencari nafkah dengan menyapu lantai kereta. Tak perlu juga saya ceritakan kalau kami makan makanan yang diragukan kebersihannya. Tak perlulah saya ceritakan semuanya, karena kalian sudah tahu sekarang.

Oke. Bagian inti yang paling ingin saya ceritakan adalah saat kepulangan kami dari Jogja menuju Depok.

Dengan bayangan keadaan seperti ketika berangkat, di mana kondisi kereta cukup kosong, maka tubuh dan jiwa kami pun luluh lantak ketika melihat kenyataan bahwa semuanya adalah salah. Kereta ekonomi itu terjejal dengan kepadatan penumpang. Kami langsung bersigap ketika kereta itu berhenti. Kami langsung naik dan mencari lahan kosong untuk diduduki. Hasilnya adalah NIHIL. Mulai gerbong tengah, lalu menyusuri gerbong terdepan, sampai akhirnya menuju gerbong paling belakang, tak ada tempat duduk kosong tersisa untuk bertujuh (saya dan teman-teman saya). Padahal stasiun itu adalah stasiun ujung, di mana secara logika seharusnya ketika kereta tiba dalam keadaan kosong. Namun, kami tersadar bahwa tidak semua orang yang duduk memenuhi kursi kereta adalah penumpang, melainkan para CALO.

Aaahhh!
Untung saja ada 2 kursi yang kosong di gerbong paling belakang, maka tak peduli kanan dan kiri, lalu kami kuasai. Sisanya, kami terpaksa duduk di lantai di samping 2 kursi tersebut, lebih tepatnya di lantai yang juga merupakan jalan atau koridor gerbong yang seharusnya jadi tempat orang mondar-mandir. Dengan tampang yang lusuh dan bermandi peluh, serta badan yang lemah tak bergairah, kami menempuh perjalanan Kutoarjo-Manggarai selama kurang lebih 12 jam. Selama itu pula kami tersadarkan dengan panggung kehidupan yang begitu beragam. Kami berhadapan dengan sebuah kenyataan yang membuka mata kami untuk bersyukur atas segala apa yang diperlihatkan di kereta, kereta ekonomi khas Indonesia.

Berikut merupakan beberapa adegan yang membuat saya haru dan pilu menyaksikan kehidupan itu.
  • Adegan para calo yang mahir dalam perannya, menduduki hampir lebih dari setengah jumlah kursi penumpang dan menunggu ada penumpang lain yang mau membayar sebuah kursi, layaknya adegan para pejabat dan orang-orang atas yang menjual-belikan kursi di pemerintahan. Mengesalkan!
  • Adegan keakraban para penumpang yang sedang menuju kota untuk bekerja. Ada beberapa rombongan pekerja dari desa yang saling bersenda gurau dan berbagi tempat duduk dengan sesama rekannya yang tidak kebagian kursi.
  • Adegan lalu lalangnya para pedagang untuk menawarkan jualannya. Mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga orang-orang yang sudah renta berjuang menafkahi keluarganya dengan cara halal, menjadi pedagang bukan calo. Dengan bawaan dagangannya yang cukup berat, mereka lalu lalang di lautan manusia yang berjubel di dalam gerbong. Perjuangan yang menyentuh hati dan mengingatkan saya pada para orang tua yang selalu berjuang untuk kehidupan anaknya.
  • Adegan kerjasama antar-pedagang. Tidak seperti para dewan yang saling sikut, para pedagang itu saling membantu dan tidak berebut pembeli. Mereka seolah saling menyemangati satu sama lain, walaupun mereka semua mencari uang di lahan yang sama.
  • Adegan keramah-tamahan penumpang. Untuk mengusir rasa keluh kesah, para penumpang saling bercerita, bahkan ketika kita bertanya mereka tak segan untuk menjawab dan membantu masalah rute atau perjalanan. Tak jarang juga mereka memberikan nasehat pada orang-orang awam seperti kami.
  • dan lain-lain.
Begitu banyak peristiwa dan adegan yang menjadikan pelajaran bagi kami dan memberikan ilmu juga pengalaman berharga yang tak terlupakan.

Saya hanya bisa membayangkan para orang kaya, pejabat, dan semua orang yang telah membekukan rasa ibanya, jika mereka mau menengok dan terjun ke dalam cerita semacam ini. Ingin rasanya menyaksikan orang-orang tersebut menaiki kereta itu dan mengalami hal serupa. Akankah kekerasan hati mereka berubah untuk mengindahkan dunia ini?

Ya, itulah sebuah pengalaman di sebuah kereta ekonomi khas Indonesia.

Senin, 18 Oktober 2010

Merah Putih dan Putih Merah

Walau sudah tiga bulan lebih, rasanya seminggu pengalaman di negeri orang nggak bakal terlupakan. Yah, itulah peristiwa di mana banyak pengalaman pertama saya.

Pengalaman pertama masuk ke dalam Bandara Internasional punya Indonesia, Soekarno-Hatta.
Pengalaman pertama naik pesawat terbang.
Pengalaman pertama pergi ke luar negeri.
Pengalaman pertama berkompetisi berskala internasional.

Oke. Mungkin nggak bakal cukup satu postingan ini untuk bercerita tentang pengalaman saya di negeri orang. Di sini saya cuma mau mengutarakan perjalanan saya di "tanah barat".


*     *     *

Tanggal 2 Juli adalah hari keberangkatan saya menuju Warsawa, Polandia, untuk mengikuti sebuah lomba bernama Imagine Cup 2010. Tak perlulah saya menceritakan lomba tentang apa itu dan embel-embelnya, karena semuanya bisa ditanyakan sama Mbah Google. Lagipula, sekali lagi saya hanya mau menceritakan unek-unek saya ketika berada di sana dibandingkan dengan keadaan di sini, di Indonesia tercinta.
Oke langsung aja deh!

MAKANAN : VARIASI DAN RASA

Wah, ini dia hal yang nggak disangka-sangka. Berdasarkan pengalaman lomba yang diadakan sebelumnya dan konfirmasi registrasi tentang makanan yang terdapat pilihan menu makanan untuk muslim, saya dan teman saya nggak nyangka kalau pas di lapangan tidak disediakan makanan halal. Alhasil, kita hanya makan menu-menu aman, seperti ikan, sayuran, kentang, sereal, dsb.

Yup. Terlepas dari itu semua, ketika saya berada di sana, makanan merupakan hal yang paling "ngangenin". Saya serasa ingin buru-buru pulang ke Indonesia untuk segera merasakan nikmatnya makanan di bumi khatulistiwa. Bahkan, saya sudah sangat "ngiler" ketika membayangkan nasi dan kecap ditambah telur dadar, tahu, tempe, dan kerupuk. Hmmm... Mau tahu kenapa?

Makanan di sana, apalagi di sebuah hotel internasional berbintang 4, tentunya berparas cantik nan menggugah. Tapi, itu semua hanya tampilan. Ketika makan, rasa yang ada tak lebih dari sekedar rasa manis dan asin. Yah, mungkin karena bumbu di sana hanya ada garam dan lada. Bersyukurlah saya sebagai orang Indonesia yang punya berlimpah bumbu dan rempah-rempah. Tapi inilah yang menjadi poin. Jarang sekali orang yang bersyukur untuk bisa makan, padahal di negeri ini saja dengan kekayaan kulinernya masih banyak yang harus menahan lapar bukan karena tak ada makanan halal, tapi karena mereka tak mampu membeli makan. Ini juga muungkin bisa jadi peluang untuk memasarkan berbagai kekayaan bumi ini berupa rempah atau produk kuliner ke negeri seberang.

PANORAMA ALAM DAN KEBUDAYAAN

Banyak banget orang Indonesia yang ingin ke luar negeri. Entah sekedar gengsi atau rasa penasaran. Yang jelas, nggak tahu kenapa, adrenalin saya yang begitu menggebu-gebu untuk merasakan udara luar mulai hanyut ketika pesawat mulai take off. Mungkin ketika hendak landing di Hongkong untuk transit, masih ada rasa takjub terhadap negeri orang.

Pemandangan malam yang begitu berkilau tampak dari atas langit Hongkong, cahaya lampu yang gemerlap menyinari negeri Hongkong, bak negeri mentereng di banjiri lahar, terbawa kesan cahaya lampu kuning orange yang menghiasi negeri tersebut. Tapi, setelah tiba di London, untuk transit lagi, sudah tidak ada perasaan yang sangat wah seperti di awal. Rasanya seperti belum di luar negeri. Biasa saja. Hingga akhirnya saya sampai di Polandia, dan masih biasa saja. Seperti belum di luar negeri. Entahlah, mungkin karena ekspektasi saya yang berlebihan tentang keadaan negeri orang.

Kebetulan, dalam acara ini ada jadwal untuk jalan-jalan, untuk lebih mengenal negeri yang terkenal dengan sejarah dan tokohnya. Kami berkunjung ke kota Pultusk dan menikmati semua kegiatan dan wahana di sana. Mulai dari naik Gondola, mendengarkan konser di kastil, hingga menyaksikan berbagai kebudayaan dan alamnya.

Lagi-lagi di luar ekspektasi saya. Gondola yang saya naiki mulai berjalan menyusuri aliran air (entah sungai, entah danau). Pemandangan kanan kiri hanyalah semak-semak dan pepohonan kecil yang agak kering, dan jauh dari kesan menyejukkan. Yah, maklum mungkin karena sedang musim panas. namun tetap saja kalau dibandingkan dengan Indonesia, masih sangat jauh. Indonesiaku begitu indah, terlebih dengan kebudayaannya. Di sana, kami menyaksikan berbagai penampilan seni dan kebudayaan. Namun, rata-rata hanya bertemakan peperangan ala barat dengan pakaian perangnya dan musik-musik pendukungnya, serta pembuatan alat perang zaman dulu. Yah, sekali lagi jauh dari Indonesia yang begitu kaya dan beragam akan kekayaan alam, seni, dan budayanya.

Lagi-lagi Indonesia harus bersyukur. Dan potensi ini harusnya lebih dikembangkan lagi, sehingga Indonesia menjadi negara kaya yang benar-benar kaya. Bukan menjadi negara yang selalu dibodohi dan dicurangi.

PEJALAN KAKI DAN KENDARAAN

Oke. Mungkin dari tadi Indonesia selalu lebih unggul, tapi untuk hal yang satu ini, Indonesia kalah mutlak. Anda akan salut melihat kesadaran orang-orang di Polandia akan sistem dan lingkungan. Bagaimana tidak. Silakan Anda mencoba berjalan kaki menelusuri kota. Semua tertib dan benar-benar asik! Tak ada polusi, tak ada fenomena macet, tak ada kesemrawutan lalu lintas, dan semua menikmati perjalanan yang ditempuh dengan kaki.

Pantas saja orang luar negeri banyak yang lebih memilih berjalan kaki ketimbang naik motor atau mobil pribadi. Jawabannya adalah, karena pejalan kaki sangat dihormati. Ketika Anda menyeberang jalan, maka Anda tak perlu menunggu lama hingga jalan sepi atau memaksa pengendara untuk berhenti dengan repotnya dan saling tak mau mengalah. Berbeda dengan di sana. Ketika kita menyeberang, maka pengendara akan berhenti dan memberikan jalan. Tak ada lagi kata tidak mau mengalah, karena pejalan kaki nomor 1.

Bahkan, karena dihormati, beberapa jalan besar yang terdapat rambu untuk pejalan kaki, mereka juga akan menghormati pengendara. Dengan rambu-rambu untuk pejalan kaki, apabila lampu belum hijau (mempersilakan pejalan kaki untuk menyeberang), walau tidak ada kendaraan yang lewat, maka pejalan kaki pun tak akan menyeberang hingga lampu berubah hijau.

Dengan jumlah kendaraan yang terbilang sedikit (dibandingkan Indonesia), dan kesadaran warga untuk lebih memilih kendaraan umum, membuat udara dan lingkungan menjadi bersih, TIDAK ADA POLUSI! Ini yang paling saya suka.

Pokoknya semua serba teratur, tertib, bersih, dan tenang. Ini dia yang perlu kita tiru. Dan hal ini pula yang membuktikan kebenaran isi buku Triniti dengan judulnya Naked Traveler yang mengutip pertanyaannya kepada beberapa bule di Indonesia, yaitu "Apa yang membuat Anda tidak nyaman di Indonesia?" jawabnya adalah "Tidak adanya fasilitas yang nyaman untuk pejalan kaki."

Mungkin terlalu banyak yang saya tulis di artikel ini. Jadi, saya cukupkan sampai di sini walaupun masih banyak yang ingin saya ceritakan dan ingin saya bandingkan antara kedua negeri berbeda adat tersebut. Yang jelas, kita harus banyak belajar dan mengambil semua hal postif dari warga barat. Jangan hanya mengambil yang buruk-buruknya, kawan.

MAJU TERUS INDONESIA!