Rabu, 20 Oktober 2010

Kereta Ekonomi Khas Indonesia

Ada dua hal yang membisikkan saya untuk menulis artikel ini, yaitu masa ketika saya jalan-jalan ke Yogyakarta dan masa ketika saya Kerja Praktek, karena dua masa tersebut adalah masa-masa saya menjalin keakraban dengan seorang yang bernama Kereta, lebih lengkapnya Kereta Ekonomi.

Di sini saya hanya akan bercerita tentang masa jalan-jalan saya dan teman-teman saya ke Yogyakarta, karena akan terlalu panjang jika saya bahas pula masa kerja praktek yang mengeratkan hubungan saya dengan kereta.

*     *     *

Pada zaman dahulu kala, saya dan kawan-kawan saya pergi berlibur ke Jogja dengan keberangkatan dan kepulangan menggunakan kereta api ekonomi. Berhubung waktu saya masih kecil pernah menaiki kereta ekonomi dengan keadaan penuh sesak saat zamannya Lebaran, otomatis saya sudah siap dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Toh, saya berangkat bukan pada musim liburan, jadi seharusnya nggak bakal seperti di iklan-iklan yang menggambarkan hiruk-pikuk dalam gerbong kereta.

Yeah! Seperti dugaan saya, keberangkatan kami tak menuai banyak masalah. Bahkan, 5 gerbong kosong sudah seperti halaman rumah, tempat kami mondar-mandir mengusir kejenuhan.

Tak perlulah saya menceritakan kalau di kereta ada tukang pijat yang memaksa untuk memijat tapi dengan berujung duit. Tak perlulah saya ceritakan kalau ada orangtua yang baik, yang membayar tukang pijat itu, karena saya tak punya receh. Tak perlu saya ceritakan kalau ada banci yang mencari nafkah dengan menyapu lantai kereta. Tak perlu juga saya ceritakan kalau kami makan makanan yang diragukan kebersihannya. Tak perlulah saya ceritakan semuanya, karena kalian sudah tahu sekarang.

Oke. Bagian inti yang paling ingin saya ceritakan adalah saat kepulangan kami dari Jogja menuju Depok.

Dengan bayangan keadaan seperti ketika berangkat, di mana kondisi kereta cukup kosong, maka tubuh dan jiwa kami pun luluh lantak ketika melihat kenyataan bahwa semuanya adalah salah. Kereta ekonomi itu terjejal dengan kepadatan penumpang. Kami langsung bersigap ketika kereta itu berhenti. Kami langsung naik dan mencari lahan kosong untuk diduduki. Hasilnya adalah NIHIL. Mulai gerbong tengah, lalu menyusuri gerbong terdepan, sampai akhirnya menuju gerbong paling belakang, tak ada tempat duduk kosong tersisa untuk bertujuh (saya dan teman-teman saya). Padahal stasiun itu adalah stasiun ujung, di mana secara logika seharusnya ketika kereta tiba dalam keadaan kosong. Namun, kami tersadar bahwa tidak semua orang yang duduk memenuhi kursi kereta adalah penumpang, melainkan para CALO.

Aaahhh!
Untung saja ada 2 kursi yang kosong di gerbong paling belakang, maka tak peduli kanan dan kiri, lalu kami kuasai. Sisanya, kami terpaksa duduk di lantai di samping 2 kursi tersebut, lebih tepatnya di lantai yang juga merupakan jalan atau koridor gerbong yang seharusnya jadi tempat orang mondar-mandir. Dengan tampang yang lusuh dan bermandi peluh, serta badan yang lemah tak bergairah, kami menempuh perjalanan Kutoarjo-Manggarai selama kurang lebih 12 jam. Selama itu pula kami tersadarkan dengan panggung kehidupan yang begitu beragam. Kami berhadapan dengan sebuah kenyataan yang membuka mata kami untuk bersyukur atas segala apa yang diperlihatkan di kereta, kereta ekonomi khas Indonesia.

Berikut merupakan beberapa adegan yang membuat saya haru dan pilu menyaksikan kehidupan itu.
  • Adegan para calo yang mahir dalam perannya, menduduki hampir lebih dari setengah jumlah kursi penumpang dan menunggu ada penumpang lain yang mau membayar sebuah kursi, layaknya adegan para pejabat dan orang-orang atas yang menjual-belikan kursi di pemerintahan. Mengesalkan!
  • Adegan keakraban para penumpang yang sedang menuju kota untuk bekerja. Ada beberapa rombongan pekerja dari desa yang saling bersenda gurau dan berbagi tempat duduk dengan sesama rekannya yang tidak kebagian kursi.
  • Adegan lalu lalangnya para pedagang untuk menawarkan jualannya. Mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga orang-orang yang sudah renta berjuang menafkahi keluarganya dengan cara halal, menjadi pedagang bukan calo. Dengan bawaan dagangannya yang cukup berat, mereka lalu lalang di lautan manusia yang berjubel di dalam gerbong. Perjuangan yang menyentuh hati dan mengingatkan saya pada para orang tua yang selalu berjuang untuk kehidupan anaknya.
  • Adegan kerjasama antar-pedagang. Tidak seperti para dewan yang saling sikut, para pedagang itu saling membantu dan tidak berebut pembeli. Mereka seolah saling menyemangati satu sama lain, walaupun mereka semua mencari uang di lahan yang sama.
  • Adegan keramah-tamahan penumpang. Untuk mengusir rasa keluh kesah, para penumpang saling bercerita, bahkan ketika kita bertanya mereka tak segan untuk menjawab dan membantu masalah rute atau perjalanan. Tak jarang juga mereka memberikan nasehat pada orang-orang awam seperti kami.
  • dan lain-lain.
Begitu banyak peristiwa dan adegan yang menjadikan pelajaran bagi kami dan memberikan ilmu juga pengalaman berharga yang tak terlupakan.

Saya hanya bisa membayangkan para orang kaya, pejabat, dan semua orang yang telah membekukan rasa ibanya, jika mereka mau menengok dan terjun ke dalam cerita semacam ini. Ingin rasanya menyaksikan orang-orang tersebut menaiki kereta itu dan mengalami hal serupa. Akankah kekerasan hati mereka berubah untuk mengindahkan dunia ini?

Ya, itulah sebuah pengalaman di sebuah kereta ekonomi khas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar